Minggu, 10 Juli 2011


KELOMPOK DAN KONFLIK
PERMASALAHAN SOSIAL KEAGAMAAN
(Sebuah Refleksi Sosial)
Pendahuluan
Bhineka Tunggal Ika yang menjadi semboyan dan pandangan hidup bangsa Indonesia sesungguhnya sangat relevan dengan konteks masyarakat Indonesia saat ini. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya beberapa kelompok sosial entah itu kelompok sosial keagamaan maupun kelompok sosial masyarakat yang terbentuk dalam Ormas-ormas tertentu. Suatu kelompok sosial disatu sisi bisa menjadi anugrah tetapi disisi lain dapat pula menjadi musibah, tergantung hasil dan main goal dari kelompok sosial tersebut. Kelompok sosial dikatakan dapat menjadi anugrah manakala ia membawa dampak positif terhadap berlangsungnya kehidupan bermasyarakatn dan menjadi musibah apabila ia membawa dampak negative bagi masyarakat itu sendiri. Salah satu hal yang dapat kita ambil contoh untuk perenungan dan menjadikannya sebuah refleksi sosial yaitu permasalahan kelompok sosial keagamaan.
Saat ini, kembalinya agama dalam gelanggang sosial masyarakat modern sudah merupakan fakta yang tak bisa ditolak lagi. Ketimbang mengumandangkan kembali “nostalgia pencerahan” lama dan berharap agama bisa dipaksa kembali masuk ke dalam ruang privat dan tidak mengganggu kehidupan umum, lebih baik kita menghadapi fenomena ini dengan sikap positif tetapi sekaligus juga kritis. Positif, dalam pengertian bahwa kita menerimanya sebagai fakta sosial yang tak mungkin ditolak lagi, seraya mengusahakan agar kembalinya agama itu tetap sinkron, dan tidak antagonistik, dengan format kelembagaan sosial-politik yang sudah menjadi hasil konsensus sosial bersama. Kritis, dalam pengertian bahwa kita harus selalu awas akan dampak-dampak negatif dari fenomena kembalinya agama itu.  Sebagaimana kita lihat selama ini, fenomena kebangkitan agama bukanlah peristiwa yang seluruhnya mengandung aspek positif. Di sana, ada ekses-ekses negatif yang menyertainya. Hal semacam ini disadari bukan saja oleh mereka yang skeptik pada agama, tetapi mereka yang justru bertanggung-jawab atas kebangkitan itu. Seorang ulama yang selama ini dianggap sebagai “ideolog” dan pemikir penting di kalangan generasi baru Muslim yang lahir dari fenomena kebangkitan agama ini, yakni Dr. Yusuf Qardlawi, bahkan sejak dini sudah mengingatkan adanya ekses-ekses negatif dari fenomena kelompok sosial keagamaan ini.
          Dengan sikap positif, mari kita melakukan refleksi atas sejumlah kebangkitan sekterianisme dalam agama di masyarakat kita saat ini, apa dampak positif yang bisa muncul dari sana, apa ekses negatif yang harus dihindari, dan apa sumbangan yang bisa kita harapakan dari fenomena itu untuk memperkuat proses pembentukan masyarakat yang harmonis dibawah naungan pancasila yang bersemboyankan Bhineka Tunggal Ika.

Pembahasan
Dalam membahas ini semua perlunya pengetahuan akan definisi dari kelompok sosial itu sendiri. Ada beberapa definisi, tetapi dari semua itu memiliki inti bahwa kelompok sosial adalah kumpulan orang yang saling berinteraksi berdasarkan kesadaran bersama atas keanggotaannya. Kesadaran itu dibangun diatas dasar nilai dan norma sosial tertentu.[1]
            Konflik atau masalah sosial yaitu sesuatu abnormal yang menyangkut nilai nilai sosial dan moral. Masalah tersebut merupakan persoalan karena menyangkut tata kelakuan immoral, berlawanan dengan hukum dan bersifat merusak.[2]
            Beragam kelompok sosial keagamaan ditanah air kita merupakan suatu keniscayaan, hal ini didukung dengan letak geografis Negara Indonesia yang beragam suku dan budaya hingga melahirkan corak pemikiran tertentu yang didukung dengan argument-argument keagamaan. Setiap sekte dari agama tertentu di Indonesia pasti mengadopsi kebudayaan yang telah melekat pada masyarakat, entah kemudian kebudayaan itu di lestarikan secara utuh, atau di rekonstruksi sesuai dengan dasar dasar fundamental keagamaan.
            Ada beberapa hal positif yang dapat kita ambil dari keberagaman kelompok sosial ini. Pertama, sebagai aksentuasi yang nyata terhadap semboyan tanah air kita yaitu Bhineka Tunggal Ika, dan dengan keragaman kelompok sosial ini menjadikan kita untuk belajar lebih toleran antara satu sama lain. Dengan keragaman kelompok sosial kita dapat menghadirkan toleransi aktif antar kelompok, dan tentunya ini dapat menambah wawasan akan khazanah kebudayaan antar kelompok. Kedua, beragamnya kelompok sosial keagamaan dapat melatih kita untuk meminimalisir sikap terlalu eksklusif dalam berkelompok sehingga menafikan sisi etis dan moralitas berkelompok yang berujung pada tindakan tindakan anarkis, karena etika dan moralitas inilah yang menjadi kunci utama bagi terwujudnya masyarakat yang adil dan toleran.[3]
            Dalam berinteraksi sosial, sisi positif dari kelompok keagamaan perlu dimunculkan sebagai wujud adanya nilai-nilai dari positifisme dikalangan masyarakat. Segala aktifitas kelompok harus bersikap positif dan memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup bermasyarakat, sisi inilah yang perlu kita kedepankan.
            Bukan hanya sisi positif yang ditimbulkan oleh kelompok sosial keagamaan, melainkan juga akan timbul sisi negative yang harus sangat diperhatikan oleh masyarakat berkelompok sebagai konsekuensi logis dalam berinteraksi satu sama lain. Salah satu contoh sisi negative adalah terjadinya konflik sosial. Sikap intoleran yang berujung kekerasan adalah sesuatu dampak yang paling berbahaya dalam konflik perbedaan kelompok sosial keagamaan.
            Ada salah satu contoh konflik sosial menarik yang perlu kita renungkan bersama dan perlu adanya pergeseran pemikiran (shifting paradigm). Ada suatu kelompok dalam Islam dimusuhi karena membawa ajaran yang berbeda mengenai kenabian, yaitu Ahmadiyah. Kelompok ini dipaksa keluar dari Islam dan mendirikan agama terpisah, selain juga dianggap sesat dan telah keluar dari agama Islam. Anggota kelompok ini diganggu, diserang, dan tempat ibadah mereka dibakar atau dirusak. Kejadian-kejadian ini jelas mencederai akal sehat kita, selain berlawanan dengan ajaran Islam yang paling mendasar. Prinsip dalam Islam yang jelas sangat masuk akal adalah tiadanya paksaan dalam agama (QS 2:256). Kepercayaan dan kepemelukan agama tidak bisa dipaksakan oleh siapapun, sebab fondasi agama adalah ketundukan yang sukarela yang diwakili oleh konsep “ikhlas” dalam Islam.
          Salah satu argumen yang kerap dikemukakan oleh mereka yang tidak terima oleh kelompok lainnya adalah bahwa kemunculan kelompok-kelompok yang membawa paham yang berbeda itu bisa menimbulkan keresahan dalam masyarakat, dan memprovokasi mereka untuk berbuat tindakan kekerasan. Argumen semacam ini jelas tak masuk akal sama sekali. Semua pandangan baru dalam sejarah manusia selalu membawa keresahan dalam masyarakat, jika seseorang dilarang membawa atau menyebarkan ajaran baru karena alasan menimbulkan provokasi, maka jelas peradaban manusia tak akan berkembang. Gagagasan Galileo tentang heliosentrisme jelas menimbulkan kemarahan gereja dan memprovokasi kalangan Kristen untuk mempersekusi ilmuwan itu. Jika sebuah gagasan, madzhab, atau paham baru tidak diperbolehkan muncul ke permukaan dengan alasan akan menimbulkan kemarahan masyarakat, maka kita mungkin masih hidup dalam alam Ptolemaisme dan ilmu modern sama sekali tak berkembang.
Suatu pemikiran pada suatu masa dianggap kafir, dilarang, dan dimusuhi; pelan-pelan dengan berlalunya waktu, pemikiran itu berubah menjadi mazhab, bahkan dogma dominan, menjadi gagasan perbaikan dan pembaharuan yang membuat kehidupan lebih maju lagi ke depan. Yang menyedihkan adalah bahwa argumen tentang kemungkinan resahnya masyarakat karena gagasan baru itu, dijadikan argumen oleh kalangan yang pro-status quo ajaran untuk menakut-nakuti masyarakat. Mereka biasa berujar, jika sekte atau paham tertentu dibiarkan maka masyarakat akan resah, marah dan melakukan kekacauan. Lebih tidak pantas lagi jika argumen semacam ini dikemukakan oleh pihak pemerintah yang mestinya menjadi wasit yang adil di tengah-tengah keragaman dalam masyarakat. Jika kita ikuti ajaran dasar dalam Islam sendiri, prinsip tiadanya paksaan dalam agama dan kepercayaan adalah prinsip premium yang tak bisa dianulir oleh prinsip-prinsip yang lain, apalagi oleh alasan keresahan masyarakat atau ketertiban politik.
            Kita bisa lihat hasil dan kelanjutan dari konflik ini yaitu tindakan anarkis yang dilancarkan oleh satu kelompok kepada kelompok lain, sikap ambigu dan arogan mengikuti setiap langkah mereka. Tindakan anarkis inilah yang merusak ketimpangan sosial dalam bermasyarakat.
Oleh karena itu perlu adanya sumbangan pemikiran ataupun tindakan  guna menghilangkan atau paling tidak meminimalkan seminimal mungkin permasalahan konflik kelompok sosial ini. Sedikit solusi bagi kita semua yang mungkin berguna, khususnya para elit agama kita agar berusaha mendewasakan umat dengan mendorong mereka untuk bisa menghormati perbedaan penafsiran dan paham yang berkembang dalam masyarakat, dengan membuat sebuah kajian khusus untuk membahas permasalahan sosial dengan materi materi kajian atau pembicaraan yang tidak bersifat konfrontatif dan bukan justru membuat mereka resah dengan cara menakut-nakuti bahwa paham-paham baru itu akan menimbulkan rasa was-was dan instabilitas dalam masyarakat. Selain itu silaturahmi antar kelompok keagamaan juga perlu dilakukan guna menjaga rasa kekeluargaan sesama bangsa Indonesia. Tugas elit-elit agama seharusnya membawa masyarakat kepada tingkat kedewasaan yang cukup, sehingga mereka bisa menerima perbedaan secara lapang dada. Sementara itu tugas pemerintah bukanlah menekankan kembali “mindset” lama, yaitu menjaga ketertiban umum dengan cara menekan kelompok-kelompok tertentu yang dianggap membawa paham baru yang meresahkan. Tindakan pemerintah semacam ini selain berlawanan dengan kontitusi kita yang melindungi prinsip kebebasan beragama dan kepercayaan, juga tidak paralel dengan prinsip dasar dalam Islam sendiri yang menampik adanya paksaan dalam agama.





Penutup
            Kelompok sosial keagamaan di satu sisi dapat membawa dampak positif, tetapi disisi lain akan membawa sisi negative bagi kehidupan bermasyarakat. Fenomena fenomena negative dalam berkelompok sosial keagamaan merupakan suatu hal yang asosial, menimpangkan sikap sosial kemasyarakatan, dan menjadi bara yang siap membakar keharmonisan dalam bermasyarakat. Dengan pemahaman yang mendalam dari ilmu-ilmu sosial yang ada dan ditambah dengan sentuhan keagamaan semoga dapat meminimalisir sisi negative yang menimbulkan konflik permasalahan sosial pada kelompok sosial keagamaan.



Daftar Pustaka

Aqil Siroj, Said. Tasawwuf sebagai kritik sosial.Cetakan II, Ciputat: Pustaka IrVan. 2006.
Soekamto, Soerjono. Sosiologi.  Jakarta: Rajawali Press. 1982.
Usman, Sunyoto. Sosiologi; Sejarah, Teori dan Metodologinya. Yogyakarta: CIRED (Center for Indonesian Research and Development). 2004.


[1]  Sunyoto Usman, Sosiologi; Sejarah, Teori dan Metodologinya, (Yogyakarta; Center for Indonesian Research and Development. 2004), hlm 116.
[2]  Soerjono Soekamto, Sosiologi  (Jakarta: Rajawali Press. 1982), hlm 311.
[3] Said Aqil Siroj, Tasawwuf sebagai kritik sosial, (Ciputat: Pustaka IrVan.2006), hlm.59.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar