Rabu, 02 November 2011


SOCRATES
Sinar Jiwa Pemurtadan
(melirik kembali pemikiran Socrates)

Wafatnya Socrates memang merupakan suatu kemenangan tersendiri bagi beberapa warga Athena, terlebih oleh Meletus, seorang yang mendakwa perbuatan perbuatan Socrates yang dianggap sebagai kesalahan besar dan pemurtadan warga Athena. Ternyata dari dakwaan itulah yang menjadikan nama Socrates ini membumi dalam segala ilmu filsafat, gaya dialektikanya (yang kemudian dikembangkan oleh Aristoteles) banyak digunakan oleh para pemikir hingga orator sesudahnya menjadi salah satu bukti bahwa ada kesuksesan yang lebih besar dibandingkan dengan keberhasilan seseorang yang mendakwa Socrates.
Sebenarnya sangat sedikit sekali atau hampir tidak ada  karya karya yang ditulis oleh Socrates, semua pemikiran Socrates hanya ditulis singkat oleh beberapa muridnya, dan diantara murid muridnya yang paling banyak berjasa atas penulisan pemikiran Socrates ialah Plato, seperti dalam bukunya Euthypro, Apology, Crito dan Phaedo. Beberapa pikiran Socrates tertuang antara lain mengenai filsafat moral, etika, kebijaksanaan, keadilan dan kesucian.
Dalam perjalanan hidupnya, socrates telah mengajarkan hal hal baru terhadap warga Athena terlebih pada para pemuda. Pada akhirnya metode dialektik yang banyak ia ajarkan dianggap telah merusak keyakinan para pemuda akan dewa dewa kota, dan Socrates dituduh membuat dewa dewa baru yang tidak sesuai dengan kepercayaan warga Athena.
Dalam kepercayaannya terhadap dewa dewa, Socrates mempertanyakan kebaikan menurut warga Athena, apakah segala sesuatu yang disetujui oleh para dewa merupakan kebaikan? Jika memang begitu mengapa banyak terjadi perselisihan antara para dewa Athena atas tindakan manusia? Apakah ini yang dinamakan kebaikan? Kemudian Socrates mempertanyakan sikap warga Athena yang sangat subyektif dalam memandang kesalahan, misalnya seorang anak tidak boleh menuntut orang tuanya yang berbuat kesalahan karena ini merupakan perbuatan yang dianggap tidak suci menurut dewa, dalam hal ini Socrates mendukung perbuatan kawannya yang menuntut ayahnya karena telah membunuh pembantunya. Hal inilah salah satu yang membuat Socrates tertuduh menjadi seorang yang murtad terhadap dewa dewa.
Keadilan dan kebijaksanaan menurut warga athena ketika itu sangat bergantung pada interpreter dan hakim. Dua orang inilah yang dianggap oleh warga Athena sebagai wakil dari dewa untuk memutuskan permasalahan, sisi buruknya adalah tidak sedikit petinggi petinggi Athena yang melakukan kesalahan kemudian menggunakan interpreter dan hakim sebagai pelepas kesalahan mereka, hanya karena mereka memiliki kedudukan di pemerintahan, sedangkan rakyat biasa hampir tak terbela. Bagi Socrates bukanlah suatu keadilan apabila seorang yang bersalah datang kepada hakim atau juri untuk meminta dirinya dibebaskan. Hakim atau juri menurut Socrates tidak duduk hanya untuk membagikan keadilan sebagai sebuah kebaikan, tetapi untuk memutuskan dan memposisikan keadilan; dan sumpah palsu yang mereka ucapkan untuk pembelaan yang salah itulah sebenarnya akan menjadi suatu kemurtadan, sehingga perlu hati dan jiwa yang bijak untuk melakukan tugas juri, hakim atau interpreter tersebut.
Socrates yang dianggap “murtad” tersebut dikarenakan ia memiliki pandangan yang kontra-intuitif kepada dewa dewa pada saat itu, ia lebih mempertanyakan tentang eksistensi dewa dewa yang dibayangkan oleh warga Athena. Keberanian Socrates banyak merubah pandangan pemuda khusunya mengenai tuhan yang transenden menjadi tuhan yang imanen, menurut Socrates eksistensi dewa tidak harus dengan nama nama yang dianggapnya “dibuat” oleh manusia, perlu ada sisi kebijaksanaan dan keadilan universal dari dewa atau tuhan yang tidak berpihak pada petinggi pemerintahan, kerajaan atau rakyat saja, tetapi berpihak pada posisinya sebagai sesuatu yang salah dan sesuatu yang benar secara universal. Apabila seseorang sudah dapat menerapkan kebijaksanaan dan keadilan, maka disitulah ia telah memposisikan sifat dewa yang suci, dan tidak perlu lagi menyandarkan segala perbuatan menurut apa yang disetujui para dewa. inilah pemikiran “murtad”  Socrates mengenai dewa-dewa warga Athena pada abad ke III/IV SM.
            Mungkin pandangan ini memiliki kemiripan (mirip belum tentu sama) ideologis dengan Ibnu l qoyyim Aljawziah yang pernah berkata “dimana tegaknya keadilan, maka disitulah sesungguhnya telah tampak wajah Tuhan”. Secara historis Socrates menjadi sinar pemurtadan, ia banyak memurtadkan manusia (khususnya pada warga Athena ketika itu) mengenai pandangan kebijaksanaan, keadilan dan kesucian, yang mana pandangan tersebut diyakini oleh mayoritas warga Athena sebagai pandangan yang datang dari dewa dewa mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar