Sabtu, 18 Juni 2011


PLURALISME
Konsep Kesatuan Trensenden hingga Toleransi

Diskursus wacana Pluralisme dewasa ini sedang marak dibahas diberbagai belahan dunia timur maupun barat, ibarat tanaman liar yang tumbuh pada sebuah pohon, pluralisme oleh sekalangan kelompok dianggap sebagai suatu paham yang bersimbiosis mutualisme dengan agama, dan kalangan lain ada yang menganggapnya bersimbiosis komensalisme bahkan parasitisme dengan berbagai agama. Isu isu mengenai hubungan pluralisme dan agamapun bermunculan dimana mana, berbagai media massa cetak maupun elektronik banyak mengulas dalam tentang pluralisme agama, bahkan muballigh hingga politikuspun angkat suara karena ikut terseret maraknya isu pluralisme ini.
Pluralisme berlanjut dengan menimbulkan pro dan kontra, terutama dikalangan agamawan. Dalam agama Islam misalnya, Majlis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan sebuah fatwa, bahwa pluralisme hukumnya haram. Kemudian dari agama Kristen Katolik, Paus Vatikan pun mengeluarkan dekrit penolakan pluralism agama yang disebut dengan Dekrit Dominus Jesus. Alasan yang digunakan adalah pandangan bahwa pluralisme merupakan paham yang mengajarkan semua agama adalah sama, dan oleh karenanya kebenaran setiap agama pun bersifat relatif sesuai pemeluknya masing masing. Selain itu paham ini juga mengajarkan bahwa setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa ajaran agamanya saja benar, sedangkan memeluk agama yang lain selain agamanya adalah suatu kesalahan yang sangat besar.
             Maraknya isu pluralisme yang hadir di tengah tengah kehidupan beragama, seolah olah menjadi suatu ancaman yang nyata terhadap rusaknya suatu agama tersebut. Hal ini mungkin karena kebanyakan masyarakat hanya memandang pluralisme dengan sebelah mata sehingga menafikan hal lain dalam pluralisme yang menyangkut kelangsungan baik dalam kehidupan beragama. Dalam hal lain pluralisme bukan hanya berisi penekanan terhadap relatifnya agama agama, tetapi di dalamnya terdapat suatu ajaran universal Tuhan yang perlu kita terapkan, seperti toleransi, kasih sayang, dan meminimalkan kekerasan terhadap konflik kecil dalam beragama.
Dari pandangan kebanyakan muslim, pluralisme sengaja disebarkan oleh mereka mereka yang ingin menghancurkan agama Islam dari dalam ataupun merusak akidah pemeluknya, begitu pula pandangan agama agama yang lain tentang pluralisme. Pandangan semacam ini memang tidak bisa dipungkiri, tetapi tidak dapat dibenarkan secara sepenuhnya dan tidak dapa tpula disalahkan secara utuh. Misi kaum pluralis memang bisa dibilang seperti pinang dibelah dua bahwa ada kesamaan ideologis antara pluralis satu dengan lainnya. Tetapi dalam kesamaan ini, sebenarnya ada perbedaan misi lain yang mana perbedaan ini bisa dilihat dari sasaran bidik yang menjadi konsep kaum pluralis dalam memahamkan teori pluralismenya, misalnya pandangan pluralisme dari seorang pluralis yang berlatar belakang Nasroni berbeda dengan pandangan pluralis yang berlatar belakang Islam.
Didunia Barat, John Harwood Hick (biasa disebut John Hick) seorang pluralis berlatar Kristen yang mana ia merupakan sosok yang sangat terbesar dan terpenting, karena beliaulah yang paling banyak menguras seluruh tenaga dan fikirannya untuk mengembangkn, menjelaskan dan mengeinterpretasikan gagasan pluralisme agama secara luas, sehingga mempunyai andil yang sangat besar dalam memperkenalkannya kepada masyarakat secara umum sehingga namanya menjadi lengket dengan wacana pluralisme agama.[1]
Dalam pandangan umum, Hick menuangkan ide pluralismenya dalam konsep Tuhan “Yang Nyatanya”. Dan ketika (agama) berkolaborasi dengan aspek sifat manusia akan menghasilkan fokus personal maupun non personal dari peribadahan dan perenungan agama – Tuhan Yang Absolut – yang ada pada persilangan antara yang Nyata dan pikiran Manusia.[2]
            Bagi kita yang berada di Indonesia, tidak sedikit pula para cendikiawan Muslim yang mengusung dan memahamkan tentang pluralisme agama, seperti Nurkholis Madjid (alm), ‘Abdurrahman Wahid (alm), Syafi’i Ma’arif, ‘Abdullah Moqsith Ghazali, hingga tokoh cendikiawan muda seperti Ulil Abshar Abdalla dan Zuhairi Misrawi.
            Ada perbedaan konsep ajaran pluralisme yang diusung oleh setiap tokoh, misalnya  John Hick dan  Zuhairi Misrowi, jikalau Hick terkenal dengan mengusung The Real dan Theology Global, maka Zuhairi dengan latar belakang santri dan Muslim Tradisionil, ia lebih mendalamkan konsep pluralismenya kepada ajaran Toleransi.  Begitu dalamnya pemikiran Zuhairi mengenai pluralisme ini hingga beliau menganggap bahwa fatwa tentang haramnya pluralisme merupakan cerminan dari ketidakmampuan kalangan agamawan untuk memahami pluralisme dengan baik dan tepat. Setidaknya ada semacam kecurigaan untuk menerima diskursus baru yang berkaitan dengan toleransi.[3]
            Untuk itu semua perlunya pemahan secara komparatif mengenai dua tokoh yang mendukung pluralisme tersebut, terlepas dari pertimbangan apaun jua mengenai benar dan salah atau sesat dan tidaknya dalam mempelajari pluralisme ini. selain itu Ada satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa salah satu ciri yang dimunculkan dalam studi filsafat adalah penelitian hingga pengkajian struktur ide ide filosofis-fundamental yang dirumuskan oleh seorang pemikir. Dan dengan pendekatan filosofis lainnya, sudah menjadi ciri khas pula melihat object dari faktor historis atau teologis yang juga memiliki peran dalam membentuk rumusan ide ide fundamental tersebut, karena di manapun seorang pemikir berada, tidak akan lepas dari orbit sejarah yang mengitarinya. Agar kita tidak hanya menolak ide pluralisme tanpa pengetahuan dan verifikasi ilmu yang akurat.        
Pluralisme merupakan issue yang mendapat perhatian cukup besar sepanjang zaman perkembangannya. Istilah plurlisme pun masih mengandung makna yang kabur bagi sebagian kalangan, pluralisme ada yang menganggapny sebagai musibah dan ada pula yang menganggapnya sebagai anugrah. Hal ini karena interpretasi manusia mengenai pluralisme itu sendiri.
Dalam sejarah perkembangannya pluralisme lahir ditengah keanekaragaman klaim kebenaran absolut. Hingga melahirkan dasar dasar pemikiran seperti, trencendental unity of religion, global theology, active tolerance  hingga sinkretisme dll. Yang mana kesemua dasar pemikiran ini lahir melalui keberagaman aspek historis pada zamannya.
John Hick merupakan salah satu tokoh yang mendasarkan pemikirannya pada teologi global dan sedikit kepada kesatuan trensenden pada tradisi yang berbeda beda. Teologi global merupakan gagasan-gagasan dan wacana-wacana teologis baru yang intinya menganjurkan bahwa tidak perlu bersifat resisten dan menentang globalisasi maupun globalisme yang sudah terbukti menjadi kenyataan dan tak mungkin menghindarinya.[4]
Menurutnya pula dalam hipotesa pluralisme, hal persilangan antara Yang Nyata (Tuhan) dan pikiran manusia berarti bahwa agama dunia yang berbeda beda (dengan kitab suci, praktik spritual, ingatan komunal, ekpresi budaya, dalam cara hidup, hukum dan kebiasaan, seni dll) merupakan totalitas historis yang rumit dan merupakan respon manusia yang berlainan terhadap realitas trensenden yang mereka saksikan dengan cara yang berbeda beda.[5]
Dalam hipotesis pluralistic, banyak yang mengacu pada adannya kesamaan fundamental antara berbagai agama; bahwa masing masing mereka merujuk pada satu realitas trensenden. Terjadinya perbedaan antara agama itu hanyalah perbedaan persepsi, konsepsi dan bentuk respon terhadap yang trensenden. Dan pula unsure pembeda pemahaman, pengalaman dan penghayatan religious itu adalah mentalitas dan kultur manusia yang berbeda beda, realitas trtensenden yang satu dan tunggal dihayati, dikonsepsikan dan ditanggapi secara berbeda beda.[6]
Tren sinkretis-pluralisme juga tampak sebagai fenomena yang begitu mengesankan dlam sejarah pemikiran agama, dulu maupun kini. Tren sinkretisme adalah suatu kecendrungan pemikiran yang berusaha mencampur dan merekonsiliasi berbagai unsure yang bebeda beda (bahkan mungkin betolak belakang) yang diseleksi dari berbagai agama dan tradisi, dalam suatu wadah tertentu atau dalam salah satu agama yang ada.[7]
Pluralism bukan hanya selalu ditinjau dari kaca mata teologis, Dalam tataran sosial ada tiga poin penting yang terkandung dalam plralisme.[8] Pertama, pluralism adalah keterlibatan aktif di tengah keragaman dan perbedaan, pluralism dalam hal tataran sosial lebih dari sekedar “mengakui” keragaman dan perbedaan, melainkan “merangkai” keragaman untuk tujuan kebersamaan dengan model toleransi aktif. Kedua, pluralisme lebih dari sekedar toleransi. Dalam toleransi akan lahir sebuah kesadaran tentang pentingnya menghargai orang lain. Tapi pluralism ingin melampaui capaian tersebut, yaitu menjadi sebuah upaya memahami yang lain melalui sebuah pemahaman konstruktif, artinya pemahaman yang baik dan lengkap tentang yng lain. Ketiga, pluralisme bukan lah relativisme. Pluralism adalah upaya menemukan komitmen bersama diantara pelbagai komitmen. Setiap agama dan ideology mempunyai komitmen masing masing. Namun dari sekian komitmen yang beragam tersebut dicarikan komitmen bersama untuk memfokuskan perhatian ada upaya kepentingan bersama, yaitu kemanusiaan.
Dasar pemikiran dalam ide pluralisme berupa kesatuan trtensenden dalam agama, teologi global, sinkretisme, hingga toleransi merupakan landasan bagi kaum pluralis yang dianggap mampu menjawab issue pluralisme yang kini sedang hangat dibicarakan.


By: Muzay RZ


[1]  DR. Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama. Hlm 78
[2]  John Hick, Fifth Dimension. Diterjemahkan oleh: Tantan Hermansyah (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2001)
[3]  Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi “Tafsir Tematik Islam Rahmatan lil’alamin”. (Jakarta: Pustaka Oasis, 2010) hlm
[4] Dr.Anis Malik Thoha, Ibid, hal 70
[5] John Hick, Op.cit, hlm 85
[6]  Jurnal filsafat Driyakarya edisi 12/2004.  Cypri Jehan Paju Dale, “Dasar Filosofis Bagi Paradigma Pluralisme Religius menurut John Hick” hlm 105.
[7]  Dr. Anis Malik Thoha, Op.cit, hlm 90.
[8]  Zuhairi Misrowi, Op.cit, hlm 184

Tidak ada komentar:

Posting Komentar