Rabu, 01 Juni 2011


ORMAS Islam atau KompORMAS Islam..?

اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ، إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ

ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ، وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ (النحل: 125)

125.  Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
              
Lahirnya beberapa firqoh dalam Islam merupakan suatu keniscayaan, mengingat beragamnya penafsiran Al-Qur’an dan pengambilan hadits hadits nabi sebagai sumber hukum. Dan seharusnya keberagaman firqoh yang terbentuk dalam sebuah ORMAS Islam (khususnya di Indonesia) ini menjadikan suatu keberkahan dalam umat Islam dan menjadikannya sebagai pelajaran untuk lebih bersikap toleran terhadap perbedaan intraagama, bukan dijadikan sebagai ajang permusuhan dan kebencian antar sesama muslim.
Sikap permusuhan dan intoleran ini bukanlah isapan jempol belaka. Pertengahan Mei lalu, dua Ormas Islam yang berada di dua kota Jawa Tengah mengalami konflik sosial keagamaan. Meskipun tidak terjadi pertikaian fisik, tetapi masalah ini cukup menyita perhatian masyarakat yang tentunya menimbulkan kesenjangan sosial intraagama. Sikap intoleran seperti; penghinaan terhadap methode dakwah ORMAS tertentu, menghujat masjid atau tempat ibadah tertentu, sampai pelarangan penyelenggaraan dakwah. Kesemua tindakan ini sangat mengganggu hangatnya kerukuan hidup bermasyarakat, yang mana hal ini tentu saja bertentangan dengan ajaran kemajemukan bermasyarakat yang telah diterapkan oleh Rasulullah di bawah naungan piagam Madinah.
Oleh karena itu, guna mencegah terjadinya sikap-sikap intoleran ini, sangatlah penting bila kita memahami paradigma dan etika dakwah dalam Islam, agar tidak terjadi konflik sosial keagamaan sebagaimana yang terjadi di wilayah kita Nusantara tercinta ini. Surat an-Nahl ayat 125 perlu dihayati kembali maknanya, ayat tersebut dapat dijadikan sebagai acuan untuk memahami tujuan methode sekaligus etika dalam berdakwah. Dakwah tidak cukup hanya berbekal penampilan dan mampu membangkitkan emosi aktif kolektif ummat, tetapi harus memiliki etika dan mengandung unsur filosofis mendasar yang tidak boleh ditinggalkan dalam dakwah.
            Dalam ayat ini ada tiga pesan tuhan yang disampaikan kepada manusia perihal berdakwah, yaitu al-Hikmah, al-Maw’izhoh, dan al-Jadl. Dan tidak hanya sekedar penerapan metodhe itu saja, tetapi Allah menyebutkan dengan karakteristik dari setiap comand sebelumnya, yaitu al-Maw’izhoh al-Hasanah, dan al-Jadl al-Ahsan, yang keseluruhnnya mempunyai arti yang sangat mendalam demi memperoleh prinsip toleransi dalam berdakwah.
Al-Hikmah dalam tafsir Thahir bin ‘Asyur menjelaskan bahwa al-Hikmah yaitu “al-Mu’rofah wa al-Muhkamah” bisa disebut juga yang ‘arif dan argumentatif. Suatu hal serupa yang berkenaan dengan al-Mu’rofah wa al-Muhkamah ini juga dijelaskan oleh ar-Razi dalam tafsirnya, bahwa sesuatu yang argumentatif penting dalam berdakwah karena bertujuan untuk meneguhkan pemahaman hati para pendengar dan mendebat pendapat lawan.
Kemudian tidak cukup dengan hikmah, tetapi juga dibarengi dengan al-Maw’izhah al-Hasanah. al-Maw’izhah al-Hasanah adalah perkataan meluluhkan hati atau menyejukkan jiwa seseorang yang berbicara agar bertindak dengan baik, juga dengan sifat yang lembut dan dapat diterima oleh manusia.[1]
            Berikutnya adalah dengan al-Mujadalah, yaitu sangkalan untuk membenarkan pendapat. Tentu saja sangkalan ini dengan sangkalan sangkalan yang paling baik, dan perlu diingat bahwa al-jadl al-ahsan atau perdebatan dengan lisan bukan dengan kekerasan fisik ataupun sesuatu yang memicu terjadi konflik sosial keagamaan.
            Tiga pesan inilah yang menjadi prinsip toleransi dalam dakwah, yang seharusnya digunakan oleh ORMAS Islam apapun untuk penyebaran dakwah keislamannya. Bukan dengan penyebaran “Gosip” atau sikap apologetics terhadap Ormas lain dengan menjelekan satu sama lain. Akhirnya dakwah hanya sekedar penyulut bara konflik dan omong kosong tanpa ada verifikasi fakta dan data yang akurat. Kalau keadaan sudah seperti ini maka ORMAS Islam yang secara epistimologi dakwah sebagai penyebaran seruan kebaikan satu sama lain, akan mengalami defiasi menjadi “kompORMAS Islam”. Ibarat kompor yang dapat menyulut api dan membuat panas apa saja yang ada disekitarnya.bayangkan bila hal ini terjadi pada umat Islam disemua belahan dunia...  Na’udzu billah..
Wa Allahu a’lam bi as-Sawab....

Muzay RZ
 
                                                                                                Surakarta, 24 Mei 2011

                                                                                                Muzay RZ



[1]  Lihat tafsir at-Tahrir wa at-Attanwir, juz 14 hlm 327

Tidak ada komentar:

Posting Komentar