Sabtu, 26 Maret 2011

islam universal


            Dewasa ini cukup banyak orang yang memandang bahwa Islam merupakan sebuah agama yang harus dikembangkan dan dijalankan sesuai dengan apa yang  telah Rasulullah terapkan semasa hidup beliau di Makkah maupun Madinah. Pandangan semacam ini bisa saja melupakan kita bahwa Islam merupakan agama yang universal, relevan dengan etnis dan suku apapun, untuk itu diperlukan pemaknaan dan penafsiran mengenai Islam ini secara universal pula. Dari pemaknaan ini diharapkan kita harus bisa memisahkan mana yang didalamnya terdapat unsur produk budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai doktriner fundamental. Kita harus bisa membedakan antara ajaran Islam yang merupakan pengaruh budaya Arab dan mana yang tidak.
            Ada beberapa aspek Islam yang sebenarnya merupakan pengaruh dari letak geografis maupun  budaya bangsa Arab, dan hal hal tersebut tidak harus sepenuhnya kita anggap sebagai kewajiban yang mesti kita ikuti. Misalnya, memelihara jenggot, mengenakan jilbab panjang, menaikkan celana diatas mata kaki dll, ini hanya merupakan ekpresi lokal dari situasi dan kondisi budaya Arab. Yang harus kita anggap sebagai kewajiban dan patut kita ikuti adalah nilai-nilai yang melandasi praktek dari semua itu, jilbab intinya adalah mengenakan pakaian penutup yang memiliki public decency atau kepantasan umum. Dengan situasi  Makkah dan Madinah pada saat itulah yang membuat Rasulullah menyatakan pantasnya mengenkan jilbab atau jubah panjang pada waktu itu. Dampak historis seperti itu bisa saja berkembang sesuai dengan perkembangan kebudayaan manusia.      
            Selanjutya kami mengutip pernyatan dari seorang intelek muda Ulil Abshor Abdala, yang menyatakan bahwa umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan dengan Islam, bukan berlawanan dengan Islam. Selanjutnya pernyataan ulil “larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara lelaki non-Islam dengan perempuan Islam, sudah tidak relevan lagi.” Dari pernyataan ini timbullah pertanyaan, apakah ulil merubah suatu hukum perkawinan yang tertulis dalam Al-Qur’an dengan menyesuaikan status sosial yang berdalihkan nilai universal? Dan apakah nilai relevan ini berlaku bukan hanya pada masalah kemanusiaan melainkan berlaku pula pada doktrin fundamental? Dalam hal ini saya tidak ingin menjustifikasi apakah pernyataan Ulil tersebut benar atau salah, saya hanya ingin memberikan komparasi nilai universal dan keagamaan dari sebuah praktek ibadah salah satunya adalah pernikahan.
Dalam hal pernikahan ini, Banyak orang berkeinginan “langsung” mempersunting seorang gadis solehah, mengenakan jilbab, benar benar faham akan Islam (karena memang pendidikan keluarganya yang melibatkan dia seperti itu), ataupun sebaliknya. bayangkan saja jikalau semua umat islam berpendapat seperti itu, maka bagaimanakah nasib mereka yang belum diberi perantara hidayah? Para lelaki ataupun wanita yang memang tidak pernah ditanamkan rasa keagamaan oleh orang tua dan lingkungannya, dan mereka berkeinginan ingin mempunyai itu semua tetapi bingung mau kemana, lantaran malu yang bersarang di hati mereka. Apakah mereka akan tetap pada keterpurukan agama dengan menikahi sesama mereka yang minim akan keimanan? Apakah Islam hanya memandang nilai pernikahan sebatas ritual penghalalan akan nafsu birahi dan pengembangan keturunan? Jika ya, betapa egoisnya Islam dalam memandang perkawinan.
Islam dengan pandangannya sebagai agama yang Rohmatan lil ‘Alamin merupakan semboyan yang sangat sempurna dalam mendskripsikan keuniversalan dari Islam tersebut. Allah bukan hanya tuhan yang diperuntukkan bagi  etnis Arab saja, tetapi semua etnis dan suku yang mengakui dzatNya dan menjalankan nilai universal yang merupakan the greatest goal dari sebuah praktek yang telah di buat oleh-Nya.
Sebagai umat Islam yang bijak, tidak seharusnya meyakini bahwa Islam oleh golongan tertentu adalah Islam yang paling benar dan mutlak. Kita harus bisa menerima kebenaran apa saja, meskipun itu datangnya dari luar Islam, dan sebaliknya kita harus menerima kritikan apa saja yang masuk kedalam ranah ritualisasi keagamaan pada golongan Islam yang kita pegang. Setiap golongan seharusnya menghargai hak golongan lainnya dalam penafsiran islam sesuai pemikiran mereka, selama tidak mengganggu dan memaksa umat yang lain untuk mengikuti penafsirannya, jangan sampai kita menjadi golongan Islam yang tidak Islamiy. Dari hal inilah jika kita berfikir lebih mendalam lagi mengapa terdapat kebenaran ajaran Islam pada negara kafir dan hilangnya kebenaran ajaran Islam pada negara muslim.
Lalu apakah islam yang universal ini diterapkan pula oleh Rasulullah SAW? Kita bisa melihat dari perialku rasul terhadap umatnya. Sejak di utusnya muhammad melalui bangsa Arab, disana terlihat jelas nilai universalitas yang ditanamkan muhammad kepada umatnya, beliau tidak pernah membedakan mana yang dari bangsa Arab, Persia, Eropa, Afrika dll. Sikap toleransi yang pernah di contohkan oleh rasul menjadi bukti bahwa Islam seharusnya di kembangkan dengan sikap perilaku yang islamiy, bukan hanya sekedar dengan membacakan ayat ayat keimanan kepada mereka yang belum beriman. Jadi di sini Al-Qur’an bisa dibilang tidak berguna atau belum tentu menjadi pijakan yang pas dan mutlak untuk sebuah penyebaran Islam secara universal, artinya kita tidak harus selalu membawa segi normatisitas dalam Al-Quran tetapi juga membawa segi historis serta nilai universalitas yang terkandung dalam Al-Qur’an sebagaimana yang dicontohkan oleh rasul.
Penting diingat bagi kita semua, banyak sejarah yang membuktikan bahwa penduduk Mekah masuk kedalam agama Islam karena melihat perilaku Muhammad yang berbeda dengan perilaku bangsa Arab masa jahiliyah pada umumnya. Perilaku beliau yang sopan, sangat bertoleran terhadap sesama bahkan kepada orang yang berbeda keyakinan dengan beliau sekalipun membuat orang lain merasa terluluhkan hatinya, Beliau merupakan figur yang di segani bukan ditakuti.
Nilai universal juga dicontohkan Muhammad dengan tindakan beliau yang tidak mengambil keputusan sepihak. Banyak  tradisi tradisi jahiliah yang berkembang dalam Islam dan tidak mendapat tentangan dari beliau, Contoh adalah; makan bersama, polygami, ‘aqiqoh dll. Dalam hal ini Muhammad juga melihat kondisi sosial bangsa Arab pada masa itu, tidak semerta merta langsung memvonis mereka dan memerintahkan memerangi mereka. Contoh lagi, ada dua orang pemuda yang dibunuh oleh khalifah Umar bin Khattab karena tidak menerima keputusan Rasulullah, apakah ini sesuai dengan nilai yang dicontohkan oleh rasul untuk tidak terlalu cepat mengambil tindakan kekerasan?
Mari kita kembangkan Islam yang Solihun likulli zaman wa-l-makan, dan menyingkirkan Islam yang Ghoiru qobilin li-l-Ataghyir. Pembekuan Islam hanya dapat menindas kemaslahatan umat itu sendiri. Wallahu A’lam bi Ashsowab.

By : Muzay_RZ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar